Lewati navigasi

Sore minggu, saya lagi kesal sehabis beradu argumen dengan makhluk ini, tiba-tiba pintu studio siaran saya diketok dari luar. Ternyata ada seorang pemuda bergitar yang ingin menemui saya. Namanya Takdir.
Si Takdir ini adalah pengamen yang biasa mangkal di perempatan jalan S. Parman Banjarmasin. Baru 3 bulan ngamen disini setelah mengembara dari tanah kelahirannya, Sidrap, Sulawesi Selatan. Dia mau ikut salah satu program radio saya yang memberi kesempatan buat musisi-musisi pemula Banjarmasin untuk menampilkan hasil karya mereka.

Kesan pertama saya dari pemuda ini adalah, lugu. Sempat kaget juga pas dengar dia memperkenalkan namanya, saya bertanya-tanya apa yang mengilhami orang tuanya memberinya nama ini. “Nama asli, mas?” Tanya saya. “Iya mbak, Sama kayak yang dikatepe” (Merogoh kantong buat ngeluarin ktpnya).

Takdir datang dua jam lebih awal dari jam tayangnya..

Setelah menunggu lama, dan mungkin ketiduran di sofa, akhirnya waktu Takdir tampil datang juga, berulangkali dia mengucapkan terimakasih buat saya, radio saya dan semua yang kerja disini, karena sudah diberi kesempatan. Saya sampai terharu, kayaknya hal ini penting banget buat dia. Beda banget sama band-band lain yang sempat tampil juga diacara ini, mereka semua kayaknya sudah menyiapkan diri jadi terkenal.

Akhirnya, Takdir muncul, mengudara, seperti yang diinginkannya. Bicaranya sederhana, jelas, dan cerdas. Saya sering terpana mendengar jawabannya yang lugas atas pertanyaan saya, padahal saya sudah menyiapkan banyak pertanyaan dan komentar buat jaga-jaga seandainya bincang-bincang kami mandek gara-gara Takdir kurang komunikatif. Diakhir acara saya baru tau kalo Takdir juga sempat menjadi penyiar radio di Sidrap sana. Nah, itu baru kejutan!
Takdir juga ngefans banget sama Padi, katanya seandainya nanti dia punya band, akan diberi nama Sobat.

Tapi ternyata bukan cuma itu. Lagu-lagu karya Takdir juga enak banget didengar. Main gitarnya ‘rapi’, padahal dia bilang kemampuan bermain gitarnya masih dasar banget. Suaranya juga oke. Seandainya semua pengamen di Banjarmasin gitu, mungkin nafsu makan saya akan lebih ganas baik lagi.

Inti dari pembicaraan kami adalah, betapa Takdir masih sering menemui pandangan negatif orang tentang pengamen. Padahal menurutnya, mereka menganggap hal itu adalah pekerjaan mereka, dan seperti kebanyakan orang yang bekerja, mereka melakukannya untuk mendapat uang, untuk makan, minum dan kalo ada sisa buat rokok. Tapi yang saya salut, Takdir tidak mengejar pendengar, dia cuma menunggu di satu tempat, main musik sambil berharap ada yang lewat sambil melemparkan uang. “Kalo ga ada yang kasih uang?” tanya saya, “diapresiasi dengan tepuk tangan juga udah cukup mbak” katanya.

Saya suka Takdir, dia punya mimpi, dan berani ngejar mimpinya..

One Trackback/Pingback

  1. […] Supaya adil dan tidak terkesan selfish, ada beberapa permintaan lagi Tuhan. 8. Kabulkan harapkan Takdir, beri dia temen-temen band yang bagus dan jadikan musik sebagai sumber penghasilannya. 7. Berikan […]

Tinggalkan komentar